Siapakah kita pada awalnya? Siapalah kamu? Hingga aku berani merajutkan aksara dalam surat ini dan menyisihkan waktu yang harusnya kugunakan untuk beristirahat karena aku belum sembuh betul. Udara akhir-akhir ini sedang tidak bersahabat. Anginnya terlalu kencang, tak apa jika bisa menerbangkan rasaku padamu. Dan menerbangkan dia jauh-jauh enyah dari pikiranmu. Nyatanya kan tidak bisa. Aku malah sakit, dan malah makin rindu kamu.
Kenapa? Ya karena aku tidak bisa bertemu denganmu walaupun untuk segelas atau dua gelas bir. tidak bisa bercerita dan mendebatkan banyak hal denganmu meskipun aku tak sedang ingin berbicara. Aku hanya suka mendengarmu mengutarakan pikiranmu dan bagaimana gerakan tangan terlebih bibirmu.
Kamu mungkin tidak akan pernah tahu, bahwa setiap malam yang kujadikan lagu pengantar tidur adalah setiap kata yang keluar dari mulutmu saat terakhir kita bertemu. Yah, walaupun kita memang tidak selalu bertemu, namun kamu tak pernah hilang terlalu jauh dari sekitarku. Kamu tak pernah lenyap dari tatapan mata. Hampir setiap malam kau selalu hadir meski raga nyatamu tak dapat ku sentuh. Tanpa ragamu, kenyataan bahwa kamu ada dan jiwamu berada pada semesta yang sama denganku saja sudah cukup membuatku bahagia.
Pada hari-hari di mana kita tidak bertemu seharian. Kita akan bercengkrama sejak senja mati hingga matahari lahir pada ufuk timur cakrawala, menyanyikan lagu pagi yang hampir tak pernah kita lewati. Kau di sana dengan botol bir, sedangkan aku dengan sekaleng susu atau kadang secangkir kopi. Menertawakan getir. Saling rayu melalui aksara-aksara bergincu. Tukar senyum-senyum malu atas imaji huruf-huruf yang menari pada kepala kemudian berdesir ke hati. Meleburkan rasa di ujung jemari untuk balasan yang lebih hangat lagi.
Aku adalah perempuan yang mencintai pagi karena selalu ada kamu yang menemani kala pekat retas jadi semburat cahaya. Kamu adalah sekian hal yang aku suka dari semesta. Bibirmu yang pernah ku kecap beraroma hujan pada hari pertama setelah kemarau. Tatapanmu adalah hunusan nyawa pada hatiku yang mati. Aku mencintaimu melalui rajutan doa dalam tiap rinai hujan pada semesta. Cintaku menitipkan salam tiap senja. Hasratku pecah dalam tiap tegukan buih pada bir yang kau suka. Harapku hadir pada cangkir-cangkir kopi hitam rasa pagi. Rasa kita.
Kamu, ku harap kamu selalu menjaga raga dan jiwa yang aku cintai senyata hidup. Aku selalu berpesan pada semesta pun atas nirwana di atas kepalamu. Tak ada orang yang lebih memahami bagaimana senja bisa terjadi tengah malam di bawah temaram lampu berwarna oranye jalan-jalan Ibukota. Pun tak ada orang yang lebih memahami bagaimana rona pagi bisa merajut cerita manis pada sebuah cangkir kopi. Dan tak banyak yang mengerti Tuhan ada di lorong-lorong yang ia lewati.
Serta…
Tidak ada, lelaki yang mampu membuatku jatuh cinta pada segala lebih dan kurangnya seperti kamu. Karena itu, semesta, Tuhan, Malaikat-malaikat pun Iblis harus menjagamu. Karena, mengkhayalkan kita berada di dunia yang berbeda lebih menyakitkan dibandingkan harus kehilangan pagi kita. Aku mencintai kamu. Sekali lagi, aku mencintai kamu. Semua sisi, serta sisamu.
surat yang seharusnya kamu baca beberapa bulan yang lalu sebelum kamu disini. Love.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
PENDAPAT LO ?