Aku tak lagi menikmati apa yang dulu pernah kusukai. hal hal yang pernah menjadi teman baikku berada semakin jauh dariku. Buku, yang dulu adalah benda yang mampu membuatku mengabaikan gangguan dari sekitar, kini hanyalah benda yang tak mampu menggungah apapun lagi dalam diriku untuk bahagia. minimal seperti dulu. da lagu-lagu semakin lama kudengarkan, justru membuat kepalaku sakit. keindahan kini bagiku hanya ilusi.
"apa yang telah menjadi salah dari diriku?"
Atau memang mungkin aku harus sekali lagi meminta maaf pada sesuatu di dalam dririku yang menolak segala kebahagiaan datang kepadaku.
Tak ada siapa pun lagi disisiku, aku menjauh dari semua yang datang dan menghindar dari setiap yang ingin tinggal, yang mampu mengobati diriku hanyalah diriku sendiri, namun. semakin aku mendekati diriku, semakin aku tidak tahu apa sebenernya yang aku kehendaki dari diriku.
Aku meminta maaf setulus tulusnya, diriku tetap tidak mampu memaafkanku. aku menemani diriku bermalas malasan, kutemani diriku berjalan sendirian, kunyanyikan lagu lagu masa kecilku untuk diriku, tetapi diriku tetap. Membenci "AKU"
Kalau kutemani diriku untuk berlari semakin kencang ;
"aku tahu aku takkan mampu"
Kalau kutemani diriku untuk membuat pesawat yang mampu menerbangkan kami keluar semesta dan mencari surga ;
"aku tahu ilmuku tak sampai"
Berkali kali aku bilang kepada diriku untuk berhenti, tetapi diriku itu justru semakin jauh dariku.
Kalau sebagian dari diriku sudah menjauhi teman temanku dulu karena tidak ada satupun dari mereka yang sepaham denganku. aku masih mencoba menemani diriku sendiri.
"aku meminta diriku untuk mempercayai sesuatu"
Diriku bilang segalanya palsu, bahkan sahabat, bahkan kekasih, bahkan keluarga.
lantas, apa aku masih bisa mempercayainya atau aku hanya akan terus gagal meyakinkan diriku sendiri bahwa ada aku yang bisa dipercayai sepenuhnya oleh diriku?
Aku bisa berbicara dengan orang lain. Namun aku bahkan tidak mampu berbicara dengan diriku sendiri. diriku yang begitu kaku, bersembunyi di pojok, dan tidak pernah mau mendengarkan kata kataku.
Aku tidak tahu sejak kapan diriku terbagi menjadi dua bagian. atau mungkin lebih, Namun, aku sungguh membenci sebagian dari diriku yang tidak pernah mau bersahabat denganku.
Sebagian dari diriku tidak memiliki seorang pun sahabat, menolak setiap yang datang dan mengusir setiap yang ingin tinggal.
Meski aku pikir aku mampu bersahabat dengan diriku yang pemilih itu, tetapi tidak pernah bisa bagian dari diriku itu menyambut tali persahabatan yang kuulurkan. padahal kami tinggal didalam satu tubuh, berbagi napas yang sama, tetapi separuh sebagian diriku tidak mampu menerima kehadiranku, bahkan ketika aku menangis,sesuatu dalam diriku bekerja makin keras untuk membuat tangisku tersampaikan semakin laung.
Aku mungkin adalah bagian negatif. yang menangis, yang ingin berhenti, yang realistis. dan bagian diriku yang lain, yang angkuh, yang berdiri dipojokan, yang enggan bersahabat denganku itu mungkin adalah bagian positifku. yang terus berupaya, yang tidak menangis, yang keras hati, yang merdeka, yang idealis, yang "Tidak Pernah Mau Kalah".
Diriku mungkin adalah bagian yang lemah yang seharusnya dimusnahkan.
Namun, bukankah ketakutan dan tangis adalah bagian paling dasar dari setiap mereka yang ingin lahir? ketika terlahir pertama kali, aku menangis, bukan justru tertawa terbahak-bahak. Ketika mencoba mengenali dunia asing di sekitarku, aku mengawalinya dengan perasaan takut.
Dan kini setelah sekian lama, teah ada dua bagian dalam dariku. Dan mungkin lebih karena aku tidak tahu, karena aku tidak kenal karena aku dijauhi begitu saja. yang aku ajak berbagi tubuh tetapi terus menerus menyakiti. yang aku ajak berbagi napas, tetapi ta hentinya berlari seolah berniat menghabisku juga.
Sebagian diriku seolah olah ingin mengajakku mati, meskipun tidak pernah berniat menjadi sahabatku.
Mungkin saat ini sebenernya aku tidak sedang mencari-cari Tuhan atau mencari-carimu yang ada pada jarak jutaan tahun cahaya. mungkin tidak mempertanyakan kepercayaanku. aku hanya mempertanyakan separuh bagian dari diriku. bahkan aku tak pernah mampu menemukan jalan untuk bernegosiasi dengan diriku yang angkuh itu. Tak pernah ada konsesi. Tak pernah ada kesepakatan.
Atau mungkin akulah yang angkuh. atau mungkin kamu berbeda bahasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
PENDAPAT LO ?