“menulislah, dan jangan bunuh diri”
Perempuan Sore
Ternyata memang benar apa yang mbak theo bilang. Sudah lama
sekali rasanya tidak menulis, tidak mencatat, tidak mengkutip. Sudah hampir
satu tahun saya benar benar menjauh dan membelakangi apa yang dulu saya tekuni.
Iya. Menulis
Entah apa yang membuat saya kembali membuka notebook lalu
membuka draft yang berisi dengan kutipan, tulisan, fiksi dan puisi yang dulu
pernah saya tulis. Saya merindukan “saya” yang dulu. I miss the old days too much. Dulu, Menulis merupakan suatu mantra
bagi saya, suatu terapi yang bisa membuat saya merasa paling tenang, yang
membuat saya menemukan jati diri saya yang sesungguhnya.
Begitu banyak hal yang terjadi, air mata, tawa, kegelisahan,
kecemasan, teriakan, ancaman. Semua terjadi dengan bergiliran tanpa henti. Saya
memasuki fase dimana saya baru benar benar terbagun dari kehidupan yang
sesungguhnya. Nah! Seharusnya ketika semua itu terjadi saya tetap menulis
sehingga saya tidak perlu merasa kehilangan jati diri.
ah! Sudah berapa kali backspace selama saya menulis pada
paragraf ini. sungguh terlalu kaku untuk menulis dan bercerita tentang apa yang
sudah saya alami.jungkir balik kehidupan saya. Yang jelas ini tidak mudah sama
sekali. Saya bicara apaan sih?!?
Okay!
Saya menyerah, ini terlalu kaku dan baku. Saya tidak tau
harus dimulai dari mana cerita ini. yang pasti saya terlalu banyak hutang untuk
menulis. Meminggalkan blog yang mungkin sudah berhantu karena terlalu lama
ditinggal sendiri. Tsaelah!
Jadi bagaimana kalau dimulai dari, “kak kok ga pernah nulis
tentang si doi lagi “ “kak udah putus ya?” “kak kok ga puisi lagi” “kak sibuk
banget ya postingan 2016 Cuma satu doang” dll
Dimulai dari menjawab beberapa pertanyaan dari adek – adek
yang udah berbaik hati menyempatkan untuk mengirim e-mail hanya untuk nanyain
yang begituan. Seru sih kayanya. Mungkin saya akan menjawab beberapa pertanyaan
nya dengan beberapa pengalaman yang saya tuliskan dalam bentuk cerita.
----------------
“saya harap ini bukan pertemuan terakhir kita”
Lelaki itu tersenyum tipis, menatap lekat dengan sinar teduh matanya.
“saya juga berharap demikian” saya membatin.
Pertemuan pertama pada sore itu mengantarkan saya kepada
jatuh yang tak sudah. Jatuh yang terlalu jauh pada tempat yang tidak
semestinya. Ah sial sekali! Saya terjebak cinta pada komunikasi pertama.
Bukankah ini terlalu memalukan untuk diungkapkan.
Pada “Pertemuan Pertama”
saya salah satu perempuan yang menantang keras dan menolak mentah – mentah yang namanya cinta
pada pandangan pertama. Ah bukan. Cinta pandangan pertama tidak ada bedanya
dengan cinta pada komunikasi pertama. Saya bukannya membela diri. Saya hanya
terlalu naif untuk mengakuinya.
baiklah
saya jatuh “hampir” terlalu jauh. Ini terlalu memalukan
untuk saya ungkapkan. Bukannya meminta maaf kepada diri sendiri karena sudah
berhenti menulis selama hampir satu tahun dan sekarang saya mulai menulis lagi
hanya karena “seseorang” dengan hitam pekat bola matanya yang sampai saat ini
tidak bisa saya enyahkan dari otak saya! Ya. Saya mengenangnya.
Saya percaya mantra. Saya percaya bahwa ada beberapa “kata”
yang berlaku sebagai mantra. Entah apa yang merasuki saya pada sore itu. Saya
memantrainya! Ah konyol sekali!
Saya menatap tepat pada hitam pekat bola matanya,
menunjuknya dengan gerakan memutar, dan mulai memantrainya
“kamu, tidak akan pernah lupa dengan saya. Tidak akan pernah hilang, ini mantra”
Ia merebahkan kepalanya pada setir, menatap dengan teduh
matanya dan tersenyum tipis, menggenggam tangan saya nd speechless.
Hanya itu! Hanya itu yang dia lakukan. Ah sepertinya memang
benar saya terlalu kekanakan untuk lelaki seperti dia. Pada pertemuan pertama
saya sudah berani memantrainya. Saya malu sekali >.<
Seperti menebak langit abu – abu. mantra itu tidak pernah
terjadi. Hingga saat ini tidak ada pertemuan selanjutnya. Lelaki itu ditelan
kesibukan, dimakan waktu, dan berjalan mengikuti detik yang berputar.
Oh! Saya mungkin lupa membaca pertanda.
“saya harap ini bukan pertemuan terakhir kita”
Lelaki itu tersenyum tipis, menatap lekat dengan sinar teduh matanya.
Tapi sialnya.
Hitam pekat bola matanya masih mengikuti saya hingga saat
ini.
Detik ini.
Ah sialan!
Padang, 2017