Apa kau tahu bagaimana rasanya
berada dalam ruangan gelap yang kosong sendirian?
Kedinginan, kalaparan,
ketakutan. Tak ada cahaya sedikitpun, tak ada suara, tak ada siapa-siapa. Dan
yang bisa kau lakukan untuk menghilangkan rasa takutmu hanyalah dengan meringkuk
sambil memeluk satu-satunya yang ada bersamamu. Dirimu sendiri.
Bagiku tempat yang hening itu
selalu menakutkan. Semakin hening tempat
itu maka semakin jelas yang aku dengar.
Seperti yang sedang ku alami saat ini .
Aku bisa mendengar suara udara yang melewati hidungku lalu menuju paru-paru
dengan jelas, mendengarkan suara gemuruh dari perutku yang kelaparan,
mendengarkan suara air liur yang kupaksa masuk kekerongkonganku untuk
menghilangkan rasa haus. Mendengarkan suara gigil dari tubuhku yang gemetar kedinginan. Aku bahkan
bisa mendengar dengan jelas suara detak jantungku yang mulai terasa
satu-satu, mendengarkan suara darah yang mengalir keseluruh tubuhku.mendengar
tubuhku seperti sebuah mesin yang mulai kehabisan tenaga. Bukankah sangat menakutkan
ketika bisa mendengar segalanya? Bukankah itu mengerikan? Bahkan didalam keheninganpun bisa begitu
sangat bising.
Aku tidak bisa menjelaskan
bagaimana aku bisa berada didalam ruangan ini. Hanya saja yang aku ingat adalah wanita itu terus saja mengutukiku
dengan kata-kata kasar, melemparkan benda-benda yang berada disekitanya
kearahku, menyeret tubuhku tanpa iba dan kemudian mengunciku di sini. Diruangan
gelap ini.
Melawan? Tentu saja, aku
ingin sekali melawan, aku ingin sekali berlari kedapur mengambil sebuah pisau
yang biasa digunankannya untuk mengiris bawang. Lalu menusukan pisau itu
keperutnya berkali-kali. Hingga wanita itu mengerang kesakitan dan jatuh
tersungkur. Tapi aku hanyalah anak perempuan berumur lima tahun dengan tubuh
kurus tak terurus. Bagaimana mungkin
anak seusiaku saat itu bisa melakukannya, lagipula aku berhutang kepada wanita
itu, karena dia telah melahirkanku. Mengeluarkanku dari dalam perutnya yg
pengap itu.
Ini bukan kali pertama wanita
itu melakukan ini kepadaku, setiap kali dia bisa saja marah tanpa alasan dan
melampiaskannya kepadaku. Bahkan ketika aku meminta ampun kepadanya wanita itu
malah semakin geram dan terus berteriak memakiku.
“ampun bu… ampun, sakit”
“anak sialan! Sudahku bilang
jangan panggil aku ibu! Aku bukan ibumu”
Ibu hanyalah seperti sebuah
kata kosong yang tak berarti apa-apa bagiku. Tak pernah punya makna. Aku menyebut wanita itu ibu karena begitulah
aku memanggilnya. Hanya itu. Dan seorang ibu bagiku adalah tak pernah lebih
dari orang yang mau meminjamkan tubuhnya untuk diisi seonggok daging hidup
yang akan menjadi parasit selama sembilan bulan. Dan lalu mempertaruhkan hidup
dan matinya untuk mengeluarkan daging hidup tersebut. Jika beruntung dia akan
hidup dan berhasil mengeluarkan parasit itu hidup-hidup dari tubuhnya. Jika
tidak salah satu dari mereka akan mati. Bukankah menjadi seorang ibu itu adalah
pilihan yang sangat konyol? Namun sialnya bagi wanita itu adalah ia orang yang
beruntung karena aku berhasil keluar dari perutnya hidup-hidup.
Jika sebutan seorang ibu
bukanlah untuk orang yang telah melahirkanmu…lalu?
Aku menuntup mataku
rapat-rapat lalu menarik kedua kaki hingga lututku menyentuh pipi. Aku meringkuk
lebih dalam. Memeluk tubuhku yang hampir beku kedinginan. Suara jantungku terdengar sangat keras,
seolah-olah aku sedang berada didalam tubuhku sendiri. Perlahan aku mulai menikmatinya. “suara yang
sangat indah…” aku memeluk tubuhku lebih erat lagi. aku sepenuhnya tidak bisa
merasakan jemari ku lagi namun suara jantungku masih bisa kudengar.kemudian
samar-samar aku mendengar suara lain,
seperti suara langkah kaki. Mungkin ada
seseorang yang sedang berjalan-jalan di jantungku. Suara kaki itu semakin keras
mendekat . Derik engsel pintu gudang yang berkarat membuat telingaku
penggang. Udara yang kuhirup…aroma yang
sangat kukenal. Aroma mawar yang begitu
kental. Aku membuka mataku, aku melihat cahaya dari balik pintu yang terbuka
itu. Tulang leherku seperti mau patah, karena aku meringkuk terlalu dalam.
“Apa kamu mau selamanya
disana?”
“keluarlah! Ambil makananmu
dan kemudian tidur di kamarmu”
Aku tak bisa bersuara. Terlalu
lemah untuk itu.
Wanita itu geram karena aku
tak menyahut ucapannya. Lalu dia menuju kearahku, menjepit rahangku degan satu
tangan, memaksaku melihat ke arahnya hingga kepalaku terangkat dan aku
terduduk..Suara benturan demi benturan terdengar seperti bunyi kasur
yang dipukuli saat dijemur, diiringi suara keretak tulang yang patah dan
erangan kesakitan. Aku berjalan
menelusuri tangga, menuju tubuh wanita
itu yang tergeletak didasar tangga dengan posisi aneh. Kepalanya menoleh
dengan kemiiringan tak wajar, lengan tangannnya berbalik ke arah luar, dan
kakinya mengangkang. Aku berjalan melewatinya. Tanpa memedulikannya.
“Apa yang kamu lakukan kepada
ibumu , anak setan?!”
Aku berbalik melihat kearah
wanita itu. Darah segar keluar dari mulut dan telinganya, sementara darah
kental tampak mengalir menggenangi kepalanya. Dia menatapku dengan berkaca-kaca
sambil terus berusaha menggerakan tangannya. “Tolong… “ suaranya seperti
tercekik dileher.
“bukankah, kamu bukan ibuku ”
Aku tersenyum. Untuk yang
pertama kalinya aku bisa tersenyum menatapnya. Kemudian aku berlalu menuju
dapur, mengambil piring, mengisinya dengan nasi dan lauk. Membuka lemari es,
mengambil apel hijau yang tersusun rapi, memakannya segigit dan menaruhnya lagi ditempat semula. Setelah itu aku berjalan menuju kamar.
Melewati tubuh wanita itu yang sudah tidak bergerak.
Kesalahan pertamanya adalah
membuatku berada didalam rahimnya.
Kesalahan keduanya adalah membiarkanku
terlahir didunia ini.
Dan kesalahan terbesarnya
adalah menunjukan kepadaku bagaimana cara menjadi dirinya.